Colok-colok Adat Istiadat Bulan Puasa

Tradisi colokan atau Colok-colok dilakukan oleh masyarakat pedesaan Jawa untuk menandai datangnya maleman, yaitu malem songolikur.
Colok-colok adat desa setempat

Dari namanya saja sudah Tahu kalau ini merupakan tradisi atau Adat Jawa, Sama dan Serupa seperti tradisi-tradisi yang berkaitan dengan bulan puasa Ramadhan, maka tradisi ini juga tidak diketahui secara pasti siapa yang menciptakan dan kapan dimulainya adat tradisi ini.

Namun demikian, kemungkinan tradisi ini juga dapat dikaitkan dengan keberadaan walisongo sebagai penyebar Islam di Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya.

Tradisi colokan atau Colok-colok dilakukan oleh masyarakat pedesaan Jawa untuk menandai datangnya maleman, yaitu malem songolikur (waktu berbuka puasa ketika puasa sudah sampai hari ke 28).

Dan biasanya memasuki melem songo masyarakat membuat colokan, yaitu membakar Colok-colok di pojok-pojok rumah.

Colok dibuat dari potongan kayu-kayu kecil yang di salah satu ujungnya dibalut dengan kain lalu dicelupkan ke dalam minyak tanah.

Colok tersebut kemudian dibakar dan ditancapkan di tanah. Di tahun 60-an, tradisi colokan itu masih sering dilakukan di pedesaan-pedesaan Jawa, namun seiring perkembangan zaman sekarang sudah jarang dilakukan.

Colok-colok merupakan simbolik, dimaknai agar orang menjadi ingat bahwa puasa sudah memasuki hari-hari penting, yaitu sepertiga terakhir bulan.

Upacara colokan dengan menggunakan api yang berarti lambang pembakaran. Bisa dimaknai sebagai pembakaran atas dosa atau kesalahan.

Bisa juga dimaknai pemberian kecerahan di saat datangnya malam yang gelap. Dengan demikian, berbagai tradisi yang dilakukan oleh orang Jawa terutama yang terkait dengan puasa hakikatnya adalah sebagai upacara untuk melakukan introspeksi diri di tengah nuansa ampunan dan keselamatan yang sesungguhnya menjadi keinginan mendasar umat manusia.

Sama Halnya dengan Daerah Lain dalam Memperingati Maleman saat Bulan Puasa Ramadhan, Adapula yang menyebutnya Megengan, Ambengan, Berkatan dan Syukuran. Pada Tradisi ini, Masyarakat mengirim Nasi beserta lauknya yang di wadahi oleh besek (piring plastik). Semuanya di kumpulkan di Mushola, Masjid atau Balai desa. Setelah Terkumpul Semua Nasi, Maka Tertua mendoakan sesuai dengan niat Yang Sedekah Tersebut, Setelah Berdoa, Nasi di Bagikan. Yang Lain adalah Masyarakat yang membawa Berkat tidak Boleh Mengambil Berkatnya kembali. Dalam Arti Lain yaitu, Saling Bertukar Berkat dengan yang lain.

Posting Komentar