Jejak Tak Terputus: Analisis Kontinuitas Teknis dan Filosofis Antara Sedulur Tunggal Kecer Eyang Surodiwiryo dan Persaudaraan Setia Hati Winongo
Bagian 1: Genesis Setia Hati: Kehidupan dan Ziarah Bela Diri Ki Ngabehi Soerodiwiryo
Untuk memahami esensi dan keaslian jurus dalam aliran Setia Hati, penelusuran harus dimulai dari sang pendiri, Ki Ngabehi Soerodiwiryo. Analisis mendalam terhadap perjalanan hidup dan pendidikannya menunjukkan bahwa seni bela diri yang ia ciptakan bukanlah warisan tunggal, melainkan sebuah sintesis yang canggih dan komprehensif dari berbagai aliran di Nusantara.
Landasan Biografis
Ki Ngabehi Soerodiwiryo, yang lahir dengan nama Muhamad Masdan di Surabaya pada tahun 1876, merupakan sosok sentral dalam sejarah Pencak Silat Indonesia.[1, 2, 3] Garis keturunannya dapat ditelusuri hingga ke Betoro Katong, pendiri Kabupaten Ponorogo, yang memberinya legitimasi dalam warisan aristokrasi dan spiritualitas Jawa.[2, 4] Kehidupan awalnya diwarnai oleh perpaduan unik antara dunia tradisional dan kolonial. Beliau bekerja sebagai juru tulis untuk seorang kontrolir Belanda, sambil secara bersamaan menimba ilmu agama dan Pencak Silat di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang.[1, 3, 4] Paparan ganda terhadap administrasi kolonial dan pendidikan Islam tradisional ini membentuk pandangan dunianya yang luas dan inklusif.
Ziarah Agung: Pendidikan Bela Diri Lintas Nusantara
Perjalanan Ki Ngabehi Soerodiwiryo dalam mencari ilmu menjadi faktor krusial dalam pembentukan sistem bela dirinya yang khas. Perantauannya bukanlah sekadar perjalanan fisik, melainkan sebuah ziarah intelektual dan spiritual untuk menghimpun kekayaan ilmu silat Nusantara.
- Jawa Barat (1892-1893): Di Bandung dan Batavia (kini Jakarta), beliau menyerap berbagai aliran Pencak Silat Priangan dan Betawi. Di antara ilmu yang dipelajarinya adalah permainan Cimande, Cikalong, Cibediyut, Sumedangan, Betawen, Kwitangan, Monyetan, dan permainan Toya.[1, 5, 6] Hal ini menunjukkan komitmen awalnya untuk mengumpulkan dan membandingkan beragam teknik.
- Sumatra Barat (1894-1898): Masanya di Padang menjadi titik balik yang transformatif. Di sini, beliau mempelajari berbagai aliran Minangkabau seperti Padang Pariaman, Padang Panjang, Fort de Kock, Alang Lawas, dan Linto.[1, 5, 6] Yang paling penting, di sinilah beliau bertemu dengan Datuk Rajo Batuah. Dari guru ini, beliau tidak hanya mempelajari Pencak Silat tingkat lanjut, tetapi juga ajaran spiritual mendalam (ilmu kebatinan) yang kelak menjadi fondasi "Tingkat II" dalam ajaran Setia Hati.[1, 5, 6]
- Aceh (1898-1900): Perjalanannya berlanjut ke Aceh, di mana ia semakin memperkaya khazanah ilmunya dengan mempelajari aliran Aceh Pantai dan Kucingan. Di sana, ia juga memperdalam pengetahuan spiritualnya di bawah bimbingan guru-guru seperti Tengku Achmad Mulia Ibrahim dan Gusti Kenanga Mangga Tengah.[1, 5]
Dari perjalanan panjang ini, terlihat jelas bahwa identitas inti dari seni bela diri Eyang Suro bukanlah sebuah tradisi tunggal yang diwariskan secara turun-temurun, melainkan sebuah sintesis yang disengaja dan canggih. Beliau adalah seorang "penghimpun" yang secara aktif mencari, membandingkan, dan mengintegrasikan beragam teknik dan filosofi dari seluruh kepulauan.[1, 5] Dengan demikian, ciptaannya, yang kemudian dikenal sebagai "Joyo Gendilo," merupakan sebuah entitas baru—sebuah sistem yang dikurasi yang mencerminkan pemahaman dan penguasaan pribadinya atas kearifan bela diri Nusantara. Pertanyaan tentang "kesamaan" jurus, oleh karena itu, harus dipahami bukan sebagai pencarian pelestarian gaya tunggal kuno, melainkan sebagai pencarian kesetiaan terhadap formula sintesis pribadi Eyang Suro yang unik ini.
Bagian 2: Fondasi Persaudaraan: Dari "Sedulur Tunggal Kecer" Menuju "Setia Hati"
Analisis terhadap bentuk awal organisasi yang didirikan Eyang Suro menyoroti sebuah prinsip fundamental: konsep persaudaraan adalah yang utama sejak awal, melampaui sekadar teknik fisik.
Kelahiran Persaudaraan (1903)
Pada tahun 1903, di Tambak Gringsing, Surabaya, Eyang Suro mendirikan kelompok formal pertamanya: "Sedulur Tunggal Kecer" (STK).[1, 6, 7, 8, 9] Nama ini sendiri sudah sarat makna. "Sedulur Tunggal" berarti "Saudara Tunggal," menekankan ikatan persaudaraan yang setara, sementara "Kecer" merujuk pada ritual inisiasi. Komponen fisik dari perkumpulan ini adalah aliran Pencak Silat yang ia ciptakan, yang dinamai "Joyo Gendilo" atau "Joyo Gendilo Cipto Mulyo".[1, 6, 8, 9] Perekat spiritual dan sosialnya adalah ritual "kecer", sebuah prosesi simbolis di mana mata anggota baru ditetesi air menggunakan daun sirih, menandakan penerimaan mereka ke dalam persaudaraan.[1] Ritual ini sendiri diadopsi dari tradisi Jawa Barat seperti Cimande, yang semakin membuktikan sifat sintesis dari ajarannya.
Evolusi Menjadi "Setia Hati" (1917)
Setelah pindah ke Madiun pada tahun 1915, Eyang Suro terus mengajarkan ilmunya. Pada tahun 1917, beliau mengganti nama persaudaraannya menjadi "Persaudaraan Setia Hati" (SH), yang didirikan di Desa Winongo.[1, 2, 10, 11] Nama "Setia Hati" yang berarti "Hati yang Setia" menandakan filosofi inti: kesetiaan pada hati nurani sendiri, yang dipandang sebagai saluran penghubung kepada Tuhan.[12, 13, 14, 15]
Eyang Suro wafat pada 10 November 1944 dan dimakamkan di Winongo. Rumah kediamannya diwakafkan untuk kegiatan persaudaraan, yang secara permanen menetapkan Winongo sebagai pusat fisik dan spiritual dari ajaran Setia Hati yang asli.[1, 4, 5, 11, 16] Lokasi Winongo ini menjadi penanda garis keturunan yang sangat penting.
Sejak awal, identitas organisasi ini didefinisikan oleh prinsip persaudaraan, dengan seni bela diri berfungsi sebagai sarana untuk pengembangan karakter, bukan tujuan akhir itu sendiri. Nama organisasi pertama, "Sedulur Tunggal Kecer," secara eksplisit memprioritaskan ikatan persaudaraan (Sedulur) dan ritual yang mengikatnya (Kecer), bukan seni bela dirinya (Joyo Gendilo). Ketika nama diubah menjadi "Persaudaraan Setia Hati," kata "Persaudaraan" kembali menjadi identitas utama. Ajaran inti "Setia Hati" itu sendiri adalah sebuah konsep filosofis dan spiritual tentang kebenaran batin dan moralitas, dengan tujuan untuk menciptakan "manusia berbudi luhur".[12, 13, 17] Ini menyiratkan bahwa jurus-jurus tersebut tidak pernah dimaksudkan hanya sebagai kumpulan teknik bertarung. Sebaliknya, jurus-jurus itu adalah metode untuk menanamkan disiplin, fokus, dan perwujudan fisik dari filosofi "Setia Hati."
Bagian 3: Divergensi Sebuah Warisan: Kebangkitan PSHW dalam Konteks Ekspansi Setia Hati
Periode kritis setelah wafatnya sang pendiri menjadi saksi perpecahan yang melahirkan Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW). Pembentukan PSHW dapat dipahami sebagai tindakan konservasi yang disengaja sebagai respons terhadap apa yang dianggap sebagai pengenceran dan kemunduran ajaran asli.
Era Pasca-Suro: Vakum dan Kemunduran
Setelah Eyang Suro wafat pada tahun 1944, Persaudaraan Setia Hati yang asli di Winongo, yang kemudian sering disebut sebagai SH Panti, mengalami periode "kemunduran" atau stagnasi.[6, 10, 18] Kondisi ini menciptakan lingkungan di mana para murid seniornya merasa memiliki tanggung jawab untuk bertindak demi melestarikan warisan guru mereka.
Jalur Paralel Ekspansi: Kelahiran PSHT
Salah satu murid angkatan pertama Eyang Suro, Ki Hadjar Hardjo Oetomo, dengan restu gurunya, telah mendirikan kelompok terpisah pada tahun 1922 yang disebut "Setia Hati Pemuda Sport Club" (SH PSC).[10, 19, 20] Organisasi ini berevolusi dan secara resmi dinamai Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) pada kongres pertamanya tahun 1948.[2, 19, 21] PSHT mengadopsi model ekspansi yang luas, mendirikan cabang di seluruh Indonesia dan luar negeri dengan struktur hierarkis yang terdiri dari pelatih dan siswa.[19, 20, 22, 23] Strategi ini berhasil membuat nama "Setia Hati" dikenal secara luas.
Jalan Kemurnian: Pendirian PSHW (1966)
Sebagai respons terhadap "kemunduran" SH asli, tokoh kunci lainnya muncul: Raden Djimat Hendro Soewarno. Beliau secara konsisten digambarkan sebagai "murid kinasih" (murid kesayangan) Eyang Suro, yang menyiratkan hubungan dekat dan pemahaman mendalam tentang niat sang pendiri.[7, 24] Pada tanggal 15 Oktober 1966, beliau mendirikan Persaudaraan Setia Hati Tunas Muda Winongo (PSHW) dengan misi eksplisit untuk "melestarikan ajaran Setia Hati" dalam bentuknya yang murni.[6, 7, 24, 25, 26]
Nama organisasi ini sendiri sangat simbolis:
- "Tunas Muda" menandakan kelahiran kembali atau kelanjutan dari pohon asli yang saat itu dianggap tidak aktif.[10]
- "Winongo" secara tegas menambatkan organisasi ini ke lokasi dan pusat spiritual asli yang didirikan oleh Eyang Suro, sebagai klaim atas garis keturunan langsung.[10, 26].
Perpecahan antara PSHW dan PSHT pada dasarnya bukanlah sekadar perpecahan administratif, melainkan perbedaan mendasar mengenai metode terbaik untuk melestarikan warisan suci. Ini adalah konflik klasik antara melestarikan kemurnian melalui eksklusivitas dan memastikan kelangsungan hidup melalui ekspansi. Di satu sisi, PSHT memilih strategi pelestarian kuantitatif dengan menciptakan organisasi modern yang dapat diskalakan untuk menyebarkan ajaran secara luas. Di sisi lain, PSHW, yang dipimpin oleh seorang "murid kinasih," mengambil pendekatan pelestarian kualitatif. Kebijakan-kebijakan utama PSHW—seperti mewajibkan semua inisiasi (kecer) harus dilakukan di padepokan pusat di Madiun—bukanlah aturan logistik semata.[11, 23] Kebijakan ini adalah mekanisme kuat untuk menegakkan kontrol kualitas, menjaga "kemurnian aliran" [11], dan mencegah pengenceran doktrin yang mereka rasakan pada model yang lebih ekspansif.
Bagian 4: Analisis Komparatif Jurus: Melacak Garis Keturunan dari "Joyo Gendilo" ke PSHW
Bagian ini menyajikan bukti langsung untuk menjawab pertanyaan inti dengan menunjukkan garis keturunan teknis yang jelas dan dapat dilacak dari seni bela diri sintesis Eyang Suro ke kurikulum PSHW modern.
Komposisi Kurikulum PSHW
Kurikulum PSHW didokumentasikan terdiri dari sejumlah teknik yang spesifik, sering disebut mencakup 43 jurus, 13 pukulan dobel, 13 tendangan dobel, dan 19 pukulan serta tendangan kombinasi.[27] Terkadang juga disebut memiliki 36 jurus "keramat".[27] Ini menunjukkan adanya sistem yang terkodifikasi dan terstruktur. Bukti yang paling kuat berasal dari materi latihan PSHW yang mencantumkan nama-nama spesifik untuk teknik dan latihannya.[28]
Tabel 4.1: Tabel Perbandingan Pengaruh Bela Diri Eyang Suro dan Kurikulum PSHW
Tabel berikut ini berfungsi sebagai bukti utama dalam laporan ini. Tabel ini secara visual menghubungkan perjalanan dan studi historis Eyang Suro yang terdokumentasi dengan teknik-teknik bernama spesifik yang ada dalam kurikulum PSHW modern, memberikan bukti yang tak terbantahkan tentang garis keturunan langsung.
Pengaruh Bela Diri Eyang Suro yang Terdokumentasi (Lokasi/Aliran) | Teknik Bernama yang Sesuai dalam Kurikulum PSHW [28] | Sumber Referensi Pengaruh Eyang Suro |
---|---|---|
Fort de Kock (Bukittinggi, Sumatra Barat) | - Pembenahan dan pemantapan Fort De Kock - Delapan Langkah Sikap pasang, Fort De Kock | [1, 6] |
Bungus (Teluk Bayur, Sumatra Barat) | - Bungus Penyerangan, dan bertahan - Bungus berpasangan | [6] |
Cikalong (Jawa Barat) | - Pola Langkah Cikalong | [1, 5, 6] |
Permainan Toya (Stok spel) (Batavia/Jakarta) | - Permainan Toya | [1, 6] |
Cimande (Jawa Barat) | - Jurus-jurus yang bersifat lentur, halus, dan lemas, mengutamakan elakan (Karakteristik Cimande) | [1, 29] |
Penamaan dalam kurikulum PSHW ini bukanlah hal yang sewenang-wenang. Nama-nama tersebut berfungsi sebagai arsip hidup yang bersifat kinestetik, yang memetakan perjalanan sang pendiri dan melestarikan asal-usul seni bela diri sintesisnya. Ketika seorang praktisi PSHW mempelajari jurus "Fort De Kock" [28], mereka tidak hanya mempelajari gerakan. Mereka secara sadar mewujudkan sepotong sejarah pendiri mereka, menghubungkan diri secara langsung dengan masa ketika Eyang Suro belajar di Sumatra Barat.[1, 6] Dengan demikian, kurikulum itu sendiri menjadi dokumen sejarah, sebuah transmisi lisan dan fisik dari kisah asal-usul organisasi. Ini merupakan klaim otentisitas yang mendalam, bukan sekadar klaim sebagai "yang tua," tetapi klaim yang dapat diverifikasi dalam melestarikan komponen-komponen spesifik dari sintesis asli Eyang Suro, yaitu "Joyo Gendilo."
Bagian 5: Inti yang Tak Berubah: Kontinuitas Filosofis dan Metodologis
Hubungan yang paling mendalam dan definitif antara STK dan PSHW tidak hanya terletak pada teknik, tetapi juga pada pelestarian filosofi dan metodologi pengajaran yang asli.
Filosofi "Setia Hati"
Filosofi inti ajaran ini adalah kesatuan antara raga dan batin, "mengolah raga dan batin" [18], untuk mencapai "keluhuran budi" dan pada akhirnya "kesempurnaan hidup".[18, 30] Hal ini berakar pada prinsip "setia pada hati sanubari," yang merupakan jalan menuju Tuhan.[1, 13, 15] Filosofi ini adalah "ruh" atau jiwa yang menghidupkan seluruh sistem.[31]
Metodologi Pelestarian
PSHW mempertahankan metodologi yang sangat mirip dengan model asli Eyang Suro, yang berfungsi sebagai mekanisme pelestarian:
- Persaudaraan, Bukan Organisasi: PSHW secara konsisten menekankan bahwa mereka adalah sebuah "persaudaraan," bukan "organisasi" formal.[18] Ini mencerminkan preferensi terhadap struktur komunitas asli yang lebih intim dan sakral.
- Struktur Egaliter: Semua anggota adalah "saudara," hanya dibedakan sebagai "saudara tua" dan "saudara muda." Ini kontras dengan struktur "pelatih-murid" yang lebih hierarkis di banyak organisasi besar lainnya.[22, 23]
- Inisiasi Terpusat: Persyaratan mutlak bagi semua anggota baru, dari mana pun asalnya, untuk diinisiasi (dikecer) di padepokan pusat di Winongo, Madiun.[7, 11, 23, 30]
- Pengetahuan yang Terjaga: Prinsip bahwa ilmu-ilmu inti Setia Hati bersifat sakral dan hanya boleh diajarkan kepada mereka yang telah resmi diterima sebagai "warga" melalui ritual kecer.[7, 23, 32]
Struktur organisasi PSHW yang unik dan terkesan restriktif ini bukanlah penemuan modern, melainkan sebuah mekanisme fungsional yang dirancang secara sadar untuk meniru dan melestarikan karakter esensial dari "Sedulur Tunggal Kecer" asli Eyang Suro. STK pada dasarnya adalah sebuah persaudaraan yang intim, terlokalisasi, dan sakral, yang diikat oleh satu ritual inisiasi tunggal.[1] Kebijakan-kebijakan PSHW secara langsung mencerminkan model asli ini. Inisiasi terpusat memastikan setiap anggota berbagi pengalaman dasar yang sama, langsung dari sumbernya. Bahasa egaliter ("saudara") memperkuat ikatan kekeluargaan yang non-hierarkis. Pendekatan yang menjaga kerahasiaan ilmu melindungi kesakralan ajaran. Dengan demikian, struktur PSHW adalah perwujudan hidup dari etos STK yang asli. Ini adalah sistem yang dirancang untuk melestarikan tidak hanya apa (jurus), tetapi juga mengapa (filosofi) dan bagaimana (persaudaraan).
Kesimpulan: Sintesis dan Putusan Akhir
Sintesis Temuan
Ki Ngabehi Soerodiwiryo adalah seorang maestro penyintesis yang menciptakan "Joyo Gendilo" dari permadani kaya seni bela diri Indonesia. Organisasi awalnya, "Sedulur Tunggal Kecer" (STK), didirikan di atas fondasi "persaudaraan" sebagai tujuan utamanya, dengan jurus sebagai sarananya. Setelah kematiannya, terjadi perpecahan filosofis antara pendekatan "ekspansi" yang dianut oleh PSHT dan pendekatan "kemurnian" yang menjadi dasar pendirian PSHW oleh murid kinasihnya, Raden Djimat Hendro Soewarno, di Winongo. Bukti teknis yang tak terbantahkan, seperti yang ditunjukkan dalam tabel perbandingan, memperlihatkan bahwa nama-nama jurus dalam kurikulum PSHW berfungsi sebagai "arsip hidup" dari perjalanan sang pendiri. Kontinuitas teknis ini diperkuat oleh kontinuitas filosofis dan metodologis, di mana struktur PSHW secara fungsional dirancang untuk melestarikan esensi persaudaraan STK yang asli.
Putusan Akhir
Jurus-jurus Persaudaraan Setia Hati Winongo (PSHW) bukanlah replika statis yang membeku dalam waktu dari gerakan persis yang diajarkan oleh Ki Ngabehi Soerodiwiryo pada tahun 1903. Sebagaimana tradisi hidup lainnya, jurus-jurus tersebut telah dikodifikasi dan distrukturkan untuk tujuan pengajaran.
Namun, bukti yang ada secara luar biasa menunjukkan bahwa jurus-jurus PSHW merupakan kelanjutan yang paling langsung, disengaja, dan setia secara holistik terhadap teknik-teknik dasar, prinsip-prinsip inti, dan filosofi agung dari Sedulur Tunggal Kecer (STK) Eyang Surodiwiryo dan seni bela dirinya, "Joyo Gendilo."
Garis keturunan ini terbukti melalui bukti teknis (arsip hidup berupa nama jurus seperti Fort De Kock dan Bungus) dan bukti filosofis (pelestarian model persaudaraan yang asli). Oleh karena itu, dalam semangat, substansi, dan garis keturunan yang dapat dilacak secara langsung, jurus PSHW pada hakikatnya adalah sama dengan jurus STK Eyang Surodiwiryo. Mereka adalah "Tunas Muda"—tunas muda yang tumbuh dari akar asli yang tak terputus.